Pengertian Aam dan Umum Dalam Ushul Fikih

Dalam pembahasan ilmu ushul fikih, istilah ‘Aam atau umum adalah konsep penting yang sering digunakan untuk menggambarkan lingkup suatu pernyataan atau hukum.

Mari kita telaah pengertiannya secara bahasa dan istilah (terminologi), agar pemahaman kita menjadi lebih menyeluruh dan terstruktur.

Pengertian ‘Aam Secara Bahasa

Secara bahasa, ‘Aam (العام) berarti sesuatu yang mencakup banyak hal atau individu tanpa pengecualian. Dalam bahasa Arab, kata ini menunjukkan adanya sifat menyeluruh atau meluas terhadap suatu hal عممتهم بما معى

Misalnya, dalam penggunaan umum, kita sering mendengar ungkapan seperti “‘Ammahum al-khabar” yang artinya “berita itu meliputi mereka semua.” Ini mengindikasikan bahwa sesuatu telah menyebar ke semua individu yang dimaksud tanpa terkecuali.

Dalam konteks ini, para ahli logika menyatakan bahwa sesuatu yang disebut ‘Aam adalah hal yang tidak menghalangi adanya partisipasi atau kebersamaan di dalamnya.

Contohnya, kata “manusia” (الإنسان) bisa diterapkan pada semua manusia, tanpa membatasi hanya pada individu tertentu, sehingga dianggap sebagai suatu hal yang bersifat umum.

Pengertian ‘Aam Secara Istilah

Secara istilah dalam ushul fikih, ‘Aam memiliki pengertian yang beragam, seperti dalam nadham al Waraqat:

وَحَدُّهُ لَفْظٌ يَعُمُّ أَكْثَرَا مِنْ وَاحِدٍ مِنْ غَيْرِ مَا حَصْرٍ يُرَى

Artinya: Aam adalah lafadz (kata) yang mencakup lebih dari satu (individu atau entitas) tanpa adanya batasan. Definis lain:

اللفظ المستغرِق لجميع ما يصلُح له مِن غير حصْر؛ أي: يصلح له اللفظُ العام
Pengertian ‘Aam (العام) adalah: “Lafadz yang mencakup seluruh hal yang sesuai dengannya tanpa ada batasan tertentu.” Artinya, lafadz ‘Aam berlaku untuk semua hal yang sesuai dengan cakupan maknanya.

Secara umum, lafazh Amm merujuk pada kata yang mencakup seluruh individu yang bisa dimasukkan di bawah makna tersebut, tanpa adanya pengecualian.

Dengan kata lain, ia adalah kata yang mengandung semua entitas yang relevan, dan tidak terbatas pada kelompok tertentu. Contohnya adalah kata “كل” (kullu), yang berarti “setiap” atau “semua,” yang menandakan bahwa  setiap individu yang termasuk dalam lingkup kata tersebut terlibat tanpa kecuali.

Sebagai contoh lain, ketika kita mengatakan “كل رجل” (setiap laki-laki), ini berarti kita membicarakan seluruh laki-laki tanpa terkecuali. Dalam istilah ini, ‘Aam berlaku untuk semua yang mungkin terkait dengan makna kata tersebut.

Selain itu, definisi ‘Aam juga dikaitkan dengan gagasan “tidak terbatas” atau “tidak terhitung,” namun para ulama membedakannya dari angka-angka spesifik atau bilangan tertentu. Sebagai contoh, kata yang menunjukkan angka seperti “sepuluh” (عشرة) dianggap tidak termasuk dalam kategori ‘Aam, karena meskipun mencakup semua elemen yang terkait, tetapi ada batasan tertentu (yaitu sepuluh).


Dalam definisi ‘Aam secara istilah diatas, disebutkan bahwa kata ‘Aam harus mencakup seluruh entitas yang mungkin dimasukkan dalam maknanya, tanpa pengecualian, yang dikenal dengan istilah “istighraq” (الاستغراق). Hal ini mengecualikan nakirah (النكرة), atau kata benda tak tentu.

Kata nakirah tidak dianggap sebagai ‘Aam meskipun tampak tidak terbatas, karena sifat ketakjelasannya. Kata benda tak tentu tidak merujuk pada semua individu dari suatu kelompok, melainkan hanya pada individu tak spesifik.

Sebagai contoh, ketika kita mengatakan “رجل” (seorang pria), itu tidak mencakup semua pria, melainkan merujuk pada satu pria yang tidak diketahui identitasnya. Jadi, meskipun kata nakirah tampaknya bersifat luas, ia tidak mencapai tingkat “istighraq” dari ‘Aam yang sejati.

Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa ‘Aam didefinisikan sebagai sesuatu yang mencakup semua tanpa adanya pembatasan atau hasr (حصْر), atau batasan jumlah.

Dalam konteks ini, mengecualikan asma’ul ‘adad (أسماء العدد) atau kata-kata yang menunjukkan jumlah tertentu. Misalnya, angka sepuluh (‘asyrah) menunjukkan sesuatu yang memiliki batasan, karena angka ini merujuk secara eksplisit pada jumlah tertentu, yaitu sepuluh, dan tidak lebih dari itu.

Jadi, meskipun angka tersebut mencakup semua individu yang relevan, ia tetap dibatasi oleh jumlah. Ini membuatnya berbeda dari ‘Aam, yang mencakup semua individu yang relevan tanpa batasan angka atau kuantitas. Dalam istilah lain, angka seperti “sepuluh” mencakup seluruh individu yang relevan, tetapi hanya sampai pada jumlah sepuluh, dan tidak lebih.

Teks juga menyebutkan istilah bi wad’in wahid (بوضْع واحد), yang berarti “dengan satu pengertian atau makna.” Ini adalah ciri dari kata ‘Aam yang hanya memiliki satu makna atau pengertian yang mencakup semua individu yang relevan. Dengan demikian, mengecualikan musytarak (المشترك).

Contoh kata musytarak adalah kata yang memiliki lebih dari satu makna dalam konteks yang berbeda. Misalnya, kata ‘ain dalam bahasa Arab bisa berarti “mata,” “mata air,” atau “emas,” tergantung pada konteks kalimatnya. Karena kata seperti ini memiliki banyak makna, ia tidak dianggap sebagai ‘Aam, karena tidak memiliki makna tunggal yang mencakup semua individu dalam satu kategori.

Perbedaan ‘Aam dan ‘Umum

والفرْق بيْن العموم والعام: أنَّ العام هو اللفْظ المتناول، والعموم تناول اللفْظ لما صلح له

Perbedaan utama antara ‘Aam (العام) dan ‘Umum (العموم) terletak pada cara keduanya diuraikan dan digunakan:

  1. ‘Aam (العام) adalah lafadz itu sendiri—yakni kata atau istilah yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang mencakup banyak individu atau entitas. Dalam hal ini, ‘Aam merujuk pada bentuk kata yang menunjukkan cakupan atau luasnya makna secara potensial.
  2. ‘Umum (العموم) adalah proses atau tindakan lafadz tersebut mencakup semua individu yang masuk dalam makna atau kategori kata tersebut. Dengan kata lain, ‘Umum adalah sifat dari kata ‘Aam yang menunjukkan bahwa lafadz tersebut berlaku untuk semua entitas yang relevan.

Selanjutnya mari kita bahas secara mendalam perbedaan antara ‘Aam (العام) dan ‘Umum (العموم), kemudian kita terapkan pemahaman tersebut pada contoh ayat Al-Qur’an:

“إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ” Artinya: “Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian.” (QS. Al-‘Asr: 2).

Pada ayat ini, kata “الْإِنْسَانَ” adalah contoh dari lafadz yang bersifat ‘Aam. Berikut analisisnya:

  • Kata “الْإِنْسَانَ” adalah lafadz ‘Aam karena isim mufrad dengan Al. kata ini menunjukkan seluruh manusia secara umum, tanpa pengecualian.
  • ‘Umum dari kata “الْإِنْسَانَ” merujuk pada sifat cakupannya insan, yaitu bahwa setiap manusia tanpa terkecuali berada dalam keadaan rugi, Dalam hal ini, sifat “ketercakupan” adalah bentuk dari ‘Umum.

Penerapan:

  • ‘Aam (العام) di sini adalah kata “الْإِنْسَانَ” karena ini adalah lafadz yang secara eksplisit mencakup semua manusia.
  • ‘Umum (العموم) adalah sifat cakupannya, yaitu bagaimana kata “الْإِنْسَانَ” merujuk kepada semua manusia tanpa terkecuali, dan itu adalah konsep ‘Umum yang terkandung dalam kata ‘Aam tersebut.

Dengan demikian, “الْإِنْسَانَ” dalam ayat ini adalah ‘Aam karena secara lafadz mencakup seluruh manusia. Sementara Umum adalah sifat yang dimiliki oleh kata “الْإِنْسَانَ”, yaitu sifat yang mencakup semua manusia dalam kategori kerugian.

Perbedaan ini penting dalam ilmu ushul fikih karena memahami bagaimana hukum atau ketentuan berlaku untuk semua individu (melalui ‘Aam), dan bagaimana cakupan tersebut diekspresikan secara makna (‘Umum).

Hukum Lafazh Aam

Hukum tentang ‘Aam (العام) atau lafadz yang umum memeiliki beberapa pandangan ulama:

1. Pendapat Sebagian Fikih: Menunda Penetapan Hukum

Menurut beberapa fuqaha, lafadz ‘Aam dianggap sebagai sesuatu yang memerlukan penundaan (tawaqquf) dalam penetapan hukum. Ini karena lafadz ‘Aam dianggap sebagai sesuatu yang “majhul” atau tidak jelas makna pastinya (mujmal) terkait siapa saja yang dicakup oleh lafadz tersebut. Ketidakjelasan ini muncul karena bentuk jamak dalam bahasa Arab bisa merujuk pada jumlah yang berbeda, yaitu minimal tiga atau lebih.

Contohnya, ketika suatu lafadz menunjukkan makna jamak (jama’), hal itu bisa mencakup tiga individu, tapi juga bisa lebih. Maka, fuqaha ini berhati-hati dan menunda penerapan hukum hingga lebih jelas individu-individu yang tercakup.

2. Pendapat Imam Syafi’i: Lafadz ‘Aam Berlaku, Namun Tidak dengan Kepastian Penuh

Imam Syafi’i berpendapat bahwa lafadz ‘Aam memang menimbulkan hukum terhadap individu-individu yang dicakup oleh lafadz tersebut, tetapi tidak secara mutlak. Artinya, lafadz ini mencakup individu-individu yang relevan, tetapi masih ada kemungkinan adanya pengecualian (khusus).

Pendapat ini lebih moderat, di mana lafadz ‘Aam diterima untuk menggeneralisasi suatu hukum, namun tidak dengan kepastian penuh karena masih ada potensi pengecualian yang bisa muncul berdasarkan dalil lain.

3. Pendapat Hanafiyah: Lafadz ‘Aam Berlaku dengan Kepastian

Mazhab Hanafi menyatakan bahwa lafadz ‘Aam menetapkan hukum dengan kepastian (yaqin), selama tidak ada dalil khusus yang menunjukkan pengecualian. Ini berarti bahwa ketika lafadz ‘Aam digunakan, maka seluruh individu yang masuk dalam cakupan lafadz tersebut pasti terlibat dalam hukum yang ditetapkan oleh lafadz tersebut.

Misalnya, jika suatu lafadz ‘Aam digunakan untuk melarang sesuatu (seperti larangan terhadap riba), maka seluruh bentuk riba dianggap terlarang, kecuali ada dalil khusus yang membatasi cakupannya.

Implikasi ‘Aam Dalam Hukum

Dalam ilmu ushul fikih, jika suatu lafadz ‘Aam muncul dalam nash syar’i (teks hukum syariat), maka kaidah dasar menyatakan bahwa lafadz tersebut harus dipahami sesuai dengan cakupan keumumannya. Artinya, setiap individu atau kelompok yang tercakup dalam lafadz tersebut harus dihukumi sesuai dengan keumuman lafadz tersebut, kecuali jika ada dalil yang membatasi atau mengkhususkan maknanya. Prinsip ini dikenal dengan al-‘Aam yujra ‘ala ‘Umumihi (العام يُجرى على عمومه), yang berarti “lafadz umum dibawa kepada cakupan umumnya.”

Namun, jika ada dalil yang menunjukkan bahwa lafadz umum tersebut seharusnya dipahami secara khusus, maka cakupannya harus disesuaikan dengan pengecualian yang diberikan oleh dalil tersebut. Dengan kata lain, hukum berlaku hanya pada individu atau kelompok yang tersisa setelah pengecualian (ta’yin). Dalam hal ini, penerapan hukum terhadap individu yang tersisa bersifat zhanni (ظني), artinya tidak lagi qath’i (قطعي) atau pasti, karena adanya pengecualian.

Penting untuk diingat bahwa tidak semua dalil dapat mengecualikan lafadz umum. Pengecualian (takhshish) harus dilakukan dengan dalil yang sebanding atau lebih kuat dari segi kepastian (qat’iyyah) atau dugaan (zhanniyyah).