Pada pembahasan gramatika Arab, bab mustatsna atau pengecualian adalah salah satu topik penting yang perlu dipahami. Istitsna adalah konsep gramatika yang digunakan untuk mengecualikan satu elemen dari keseluruhan kelompok atau rangkaian. Alat-alat yang digunakan dalam istitsna ini cukup beragam, dan setiap alat memiliki aturan dan penggunaan yang khusus. Dalam pembahasan ini, kita akan mengupas lebih dalam mengenai alat istitsna, jenis-jenisnya, serta bagaimana hukum penggunaannya dalam kalimat.
Alat-Alat Istitsna
Terdapat delapan alat istitsna yang umum digunakan dalam gramatika Arab:
- “إلا” (Illa)
Ini adalah huruf istitsna yang disepakati penggunaannya. Illa paling umum digunakan untuk menunjukkan pengecualian dan menandai bahwa bagian setelahnya dikecualikan dari pernyataan sebelumnya. Contoh penggunaannya dapat ditemukan dalam ayat Al-Qur’an:
“فشربوا منه إلا قليلاً” (Mereka meminumnya kecuali sedikit). - “غير” (Ghair) dan “سوى” (Sawa)
Kedua isim ini juga disepakati penggunaannya sebagai alat istitsna. Baik ghair maupun sawa digunakan untuk menunjukkan pengecualian, namun dalam penggunaannya, mereka diikuti oleh bentuk majrur (kasrah) karena masuk dalam kategori idafah. Bentuk lain dari sawa termasuk “سِوَى” (siwa), “سُوًى” (suwan), dan “سَوَاء” (sawa’). Sebagai contoh:
“قاموا غيرَ زيدٍ” (Mereka berdiri kecuali Zaid). - “ليس” (Laisa) dan “لا يكون” (La Yakun)
Keduanya adalah kata kerja (fi’il) yang digunakan untuk pengecualian. Laisa dan la yakun memerlukan isim yang dinashabkan setelahnya. Contoh:
“قام القوم ليس زيداً” (Kaum itu berdiri kecuali Zaid). - “خلا” (Khala), “عدا” (Ada), dan “حاشا” (Hasha)
Ketiga kata ini dapat digunakan sebagai kata kerja ataupun huruf tergantung pada konteks kalimat. Saat berfungsi sebagai kata kerja, isim setelahnya harus dinashabkan, sedangkan ketika berfungsi sebagai huruf, isim setelahnya harus dimajurkan (dikasrah). Contoh:
“قام القوم خلا زيداً” (Kaum itu berdiri kecuali Zaid)
atau
“قام القوم خلا زيدٍ” (Kaum itu berdiri kecuali Zaid). - “ما خلا” (Ma Khala) dan “ما عدا” (Ma Ada)
Ketika ma bergabung dengan khala atau ada, pengecualian ini selalu dinashabkan, misalnya:
“قام القوم ما عدا زيداً” (Kaum itu berdiri kecuali Zaid).
Hukum-Hukum Istitsna dengan “إلا”
Penggunaan illa sebagai alat pengecualian memiliki beberapa hukum yang perlu diperhatikan, tergantung pada konteks kalimat:
- Istitsna Muttashil (Pengecualian Tersambung)
Ini terjadi ketika bagian yang dikecualikan masih termasuk dalam kategori yang sama dengan kelompoknya. Jika kalimatnya sempurna dan afirmatif (artinya terdapat subjek yang disebutkan dan tidak ada penyangkalan), maka isim yang dikecualikan harus dinashab. Contoh:
“قام القوم إلا زيداً” (Kaum itu berdiri kecuali Zaid). - Istitsna Munqathi’ (Pengecualian Terputus)
Dalam pengecualian terputus, bagian yang dikecualikan bukan bagian dari kelompok yang disebutkan sebelumnya. Contoh:
“قام القوم إلا حماراً” (Kaum itu berdiri kecuali seekor keledai).
Di sini, “حماراً” bukan bagian dari manusia, sehingga pengecualiannya bersifat munqathi’. - Kalimat Sempurna namun Tidak Afirmatif (Penyangkal atau Pertanyaan)
Jika kalimat tersebut sempurna namun disertai penyangkalan atau pertanyaan, maka ada dua pilihan: isim yang dikecualikan dapat dibaca sebagai badal (pengganti) mengikuti i’rab dari kata sebelumnya, atau tetap dinashab. Contoh:
“ما فعلوه إلا قليلٌ منهم” (Mereka tidak melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka). - Kalimat Tidak Sempurna (Istitsna Mufarragh)
Jika kalimatnya tidak sempurna, yaitu tidak ada bagian yang disebutkan untuk dikecualikan, maka bagian yang dikecualikan di-i’rab sesuai dengan amil atau kata kerja dalam kalimat. Contoh:
“ما قام إلا زيد” (Tidak ada yang berdiri kecuali Zaid).
Penggunaan “غير” dan “سوى”
Penggunaan ghair dan sawa dalam istitsna hampir mirip dengan illa, namun mereka diikuti oleh majrur karena masuk dalam idafah. Sebagai contoh:
- “ما قام القوم غيرَ زيدٍ” (Kaum itu tidak berdiri kecuali Zaid).
- “ما رأيت غيرَ زيدٍ” (Aku tidak melihat selain Zaid).
Penutup
Memahami bab istitsna dalam bahasa Arab bukan hanya soal mengetahui alat-alatnya, tetapi juga memahami bagaimana cara menggunakannya dengan tepat berdasarkan konteks kalimat. Dengan penguasaan yang baik, pembelajar bahasa Arab dapat lebih mahir dalam mengenali dan menerapkan pengecualian dengan benar dalam berbagai jenis teks, baik itu prosa, puisi, maupun kitab suci Al-Qur’an.