Mafa’ul bih adalah salah satu topik yang dibahas dalam bab i’rab manshub atau manshubatul asma’. Keberadaannya sangat penting karena merupakan elemen kunci yang melengkapi struktur kalimat, sehingga kalimat menjadi utuh dan memiliki makna yang jelas.
Dalam bab ini, kita akan membahas secara rinci tentang mafa’ul bih, mulai dari pengertian, bentuk, hingga fungsinya dalam kalimat. Selain itu, kita juga akan mengulas berbagai situasi khusus yang mempengaruhi posisi dan i’rab mafa’ul bih dalam struktur bahasa Arab. Dengan memahami konsep ini, kita dapat lebih mudah mengenali peran objek dalam kalimat dan bagaimana ia dinashabkan sesuai dengan aturan Nahwu.
Pengertian Maf’ul Bih
Mafa’ul bih dalam ilmu Nahwu adalah kalimah isim yang berfungsi sebagai objek dari fi’il (tindakan) dalam suatu kalimat. Dengan kata lain, mafa’ul bih adalah kata benda yang menerima atau dikenai perbuatan yang dilakukan oleh subjek (fa’il). Singkatnya, ia berperan sebagai objek atau penderita dalam struktur kalimat.
Contoh sederhana dari penggunaan mafa’ul bih adalah:
- “ضَرَبْتُ زَيْدًا” (Saya memukul Zaid),
- “رَكِبْتُ الفَرَسَ” (Saya menunggangi kuda).
Kata زيدًا dan الفَرَسَ dalam contoh ini adalah mafa’ul bih karena masing-masing menjadi objek dari tindakan memukul (ضَرَبْتُ) dan menunggangi (رَكِبْتُ).
Pembagian Maf’ul Bih
Mafa’ul bih terbagi menjadi dua jenis utama: ism zhahir dan ism mudhmar.
- Ism Zhahir (Isim yang Tampak)
Ism zhahir adalah kata benda yang secara jelas disebutkan dalam kalimat, seperti pada contoh yang disebutkan di atas (زيدًا dan الفَرَسَ). Kata benda ini langsung dikenai tindakan dalam kalimat, sehingga mudah diidentifikasi sebagai mafa’ul bih.
- Ism Mudhmar (Isim yang Tersirat)
Ism mudhmar adalah kata ganti (dhamir) yang berfungsi sebagai mafa’ul bih, dan terbagi lagi menjadi dua bagian:
- Mutashil (Tersambung): Kata ganti yang melekat pada kata kerja. Contohnya seperti dalam kalimat “أكرمني” (Dia memuliakanku), di mana ي (kata ganti “ku”) adalah mafa’ul bih yang tersambung dengan kata kerja أكرم (memuliakan).
- Munfashil (Terpisah): Kata ganti yang berdiri sendiri. Contohnya adalah “إِيَّايَ” (diriku) dalam kalimat “إِيَّايَ يُكْرِمُ” (Dia memuliakanku). Kata إِيَّايَ adalah mafa’ul bih yang terpisah.
Kedua bentuk ini telah dibahas secara mendetail dalam bab mengenai dhamir (kata ganti).
Posisi Mafa’ul Bih dalam Kalimat
Secara umum, mafa’ul bih biasanya terletak setelah subjek (fa’il) dan kata kerja (fi’il). Contohnya seperti dalam ayat Al-Qur’an:
- “وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُودَ” (Dan Sulaiman mewarisi Daud) — di mana داوودَ adalah mafa’ul bih dan muncul setelah subjek سُلَيْمَانُ.
Namun, terdapat beberapa kondisi di mana posisi mafa’ul bih bisa berubah:
- Boleh Didahulukan: Mafa’ul bih dapat muncul sebelum subjek secara jaiz (boleh), seperti dalam kalimat:
- “ضَرَبَ سَعْدَى مُوسَى” (Sa’dah memukul Musa).
Di sini, kata موسى sebagai mafa’ul bih muncul sebelum subjek سَعْدَى.
- “ضَرَبَ سَعْدَى مُوسَى” (Sa’dah memukul Musa).
- Wajib Didahulukan: Dalam beberapa situasi, mafa’ul bih harus didahulukan dari subjek, seperti dalam kalimat:
- “زَانَ الشَّجَرَةَ نُورُهُ” (Keindahan pohon terlihat dari cahayanya).
Di sini, kata الشَّجَرَةَ (pohon) sebagai mafa’ul bih harus didahulukan sebelum kata نُورُهُ (cahayanya).
- “زَانَ الشَّجَرَةَ نُورُهُ” (Keindahan pohon terlihat dari cahayanya).
Mafa’ul Bih Mendahului Kata Kerja dan Subjek
Dalam beberapa kondisi, mafa’ul bih juga bisa mendahului kata kerja dan subjek. Terkadang hal ini terjadi karena faktor semantik atau gramatikal. Misalnya:
- Secara pilihan (jaiz): Kalimat seperti “قَالُوا خَيْرًا” (Mereka mengatakan hal yang baik), di mana kata خَيْرًا (kebaikan) sebagai mafa’ul bih mendahului kata kerja.
- Secara wajib (wajib): Salah satu kondisi yang menyebabkan mafa’ul bih harus didahulukan adalah ketika digunakan dalam konteks bab al-isytighal. Contoh:
- “زَيْدًا اضْرِبْهُ” (Pukullah Zaid),
- “زَيْدًا أَنَا ضَارِبُهُ الآنَ” (Saya akan memukul Zaid sekarang).
Dalam kasus ini, Zaid sebagai mafa’ul bih mendahului kata kerja karena kata kerja tersebut sibuk (isytighal) dengan objek lain, yaitu kata ganti yang merujuk pada Zaid.
Contoh Maf’ul Bih dalam Al-Qur’an
Contoh lain dari fenomena bab al-isytighal ini adalah firman Allah dalam Al-Qur’an:
- “وَكُلَّ إِنسَانٍ أَلْزَمْنَاهُ طَائِرَهُ فِي عُنُقِهِ” (QS. Al-Isra’: 13).
Dalam ayat ini, kata كُلَّ إِنسَانٍ (setiap manusia) mendahului kata kerja أَلْزَمْنَاهُ (Kami bebankan), dan كُلَّ إِنسَانٍ dinashab karena menjadi objek dari kata kerja yang tersirat (mahluk yang mendahuluinya).
Kesimpulan dan Penutup
Secara ringkas, mafa’ul bih adalah kata benda yang dikenai tindakan dalam sebuah kalimat. Ini bisa berupa objek yang tampak (ism zhahir) atau kata ganti (ism mudhmar). Mafa’ul bih biasanya berada setelah kata kerja dan subjek, tetapi dalam beberapa situasi, posisinya bisa lebih fleksibel—kadang didahulukan sebelum subjek atau bahkan sebelum kata kerja, tergantung konteks kalimat.
Dalam aturan bahasa Arab, memahami posisi dan peran mafa’ul bih sangat penting untuk membentuk kalimat yang benar dan sesuai aturan. Dengan mengetahui cara kerjanya, Anda dapat memahami teks-teks bahasa Arab lebih baik dan menyusun kalimat dengan lebih tepat.
Sebagai penutup, kuncinya adalah selalu memperhatikan hubungan antara kata kerja, subjek, dan objek. Ketika ini dipahami dengan baik, konstruksi kalimat bahasa Arab akan menjadi lebih mudah dan jelas.